Wednesday, December 3, 2008

Opinion

al

MANUSIA INDONESIA DAN PERSOALANNYA

Oleh Abd A`la

Era refomasi yang dimasuki bangsa Indonesia sejak tahun 1999 abad yang lalu ternyata berjalan tidak sebagaimana yang diimpikan. Terlepas dari beberapa fenomena yang mengarah kepada perbaikan, berbagai persoalan mencuat ke permukaan. Dalam kasus-kasus tertentu sejumlah persoalan telah melemparkan bangsa ke dalam lubang nestapa yang menerjang secara telak eksistensi mereka sebagai suatu bangsa yang demokratis dan religius. Realitas yang ada di hadapan kita adalah realitas cukup buram yang merepresentasikan suatu kehidupan yang mulai tercerabut dari akar-akar nilai-nilai moralitas yang sejatinya sangat diperlukan dalam pengembangan kesejahteraan kehidupan bangsa dan umat manusia secara keseluruhan.

Salah satu fenomena yang cenderung menguat saat ini adalah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Dengan mata telanjang kita dapat melihat di mana-mana kekuasaan sering bergandeng lekat dengan korupsi dan praktik-praktik kotor yang lain. Ambil contoh, satu persatu, ketua DRPD dan anggotanya, serta penguasa daerah diseret ke pengadilan dengan tuduhan memakan uang negara atau rakyat. Hampir tidak ada lagi ranah publik yang kosong dari tikus-tikus yang menggrogoti lumbung kekayaan negara.

Persoalan tambah runyam ketika persoalan moral ini terkesan sekadar menjadi permainan yang dapat dilacak melalui vonis bebas terhadap pelakunya. Apakah negara ini memang milik koruptor?. Sebuah pertanyaan yang sulit dibantah, tapi jangan sampai menjadi realitas yang tidak mungkin diubah lagi.

Persoalan korupsi menjadi persoalan krusial yang harus dibincang pertama kali karena secara politis korupsi menopang perkembangan rezim dan sistem politik yang otoritarian dan sebaliknya para diktator (pengusa) dalam sistem politik yang berbau otorianistik mudah terperangkap dalam penyalahgunaan kekuasaan. Rezim masa demokrasi terpimpin dan orba membuktikan interplay antara kekuasaan otoriter dan korupsi[1]. Korupsi yang terus merebak ke mana-mana ini menunjukkan bahwa senyatanya otoritarianisme dan sebangsanya masih berkutat kuat dalam negara, serta pada saat yang sama memperlihatkan, proses demokratisasi yang berjalan saat ini masih berada pada tataran permukaan formal dan artifisial semata. Demokrasi yang berjalan saat ini belum menyentuh inti demokrasi yang sejatinya bersifat moral. Dengan demikian, demokrasi prosedural yang saat ini berkembang memberi peluang bagi petualang politik dan pemburu kekuasaan untuk masuk ke dalam jejaringan kekuasaan sekadar untuk meraih kepentingan-kepentingan sempit dan sesaat yang bertentangan dengan kepentingan umum dan mayarakat luas.

Dalam kondisi yang demikian, proses-proses demokrasi yang sedang berjalan sering membias ke arah yang tidak sejalan, atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai substansial demokrasi. Pemilihan langsung, misalnya, yang sebermula sekali dirancang sebagai ajang aktualisasi aspirasi rakyat serta untuk menyerap kehendak masyarakat memetamorfosis menjadi sekadar ajang pertarungan para elit untuk memperebutkan kekuasaan. Dominasi partai politik dalam penentuan calon penguasa menjadikan proses pemilihan direkayasa sedemikian rupa sehingga hanya figur-figur yang dikehendaki para elit politik yang bisa lolos dalam pencalonan. Sedangkan suara rakyat dibungkam atau digiring ke satu pilihan (tepatnya, ketentuan) yang sulit untuk dihindari akibat kepolosan rakyat di satu pihak, dan penggunaan budaya paternalistik, simbol-simbol agama dan sejenisnya di pihak lain.

Partai politik yang seharusnya merupakan media artikulasi rakyat dan harus berwatak populis, akibat ambisi dan keserakahan para elitnya, banyak yang telah meninggalkan sifat dan wataknya yang genuine dan berkembang menjadi semacam mafia para preman yang di dalamnya hanya dipenuhi dengan diskursus dan aksi seputar kekuasaan dan sejenisnya. Sedangkan kepentingan rakyat tak lebih dari sekadar retorika yang hanya dimunculkan dalam momen-momen tertentu manakala partai politik memerlukan dukungan mereka. Lewat dari itu, partai politik kembali melupakan rakyat, meninggalkan, dan membiarkan mereka dalam gelutan persoalan yang terkadang cukup pelik dan rumit sehingga seringkali menggerus akal sehat mereka dan meluluhkan ketulusan hati nurani mereka.

Masyarakat ternyata memiliki caranya sendiri dalam menyikapi persoalan yang menghadang mereka. Penyalahgunaan kekuasaan serta premanisme yang dilakukan para elit dan penguasa nyaris sejalan dengan kekerasan yang ditampakkan sebagian masyarakat. Di berbagai daerah, kekerasan dalam beragam bentuknya, dari sifatnya yang telanjang dan kasat mata hingga yang bernuansa teroristik mencuat secara fenomenal menjadi pemandangan keseharian. Sering hanya karena persoalan yang dari tataran permukaan dianggap sangat sepele, kelompok-kelompok di masyarakat lalu terlibat dalam pertikaian berdarah dan saling membantai satu terhadap yang lain. Ketika ada maling ayam dan sebangsanya tertangkap basah, massa langsung menghakiminya sendiri melalui cara-cara yang sangat biadab dan sangat kejam. Kekerasan yang muncul tentu tidak sebatas itu. Kekerasan dalam bentuk lain yang lebih mengerikan, dalam bentuk terorisme, menyebar di berbagai daerah dan menancapkan kuku-kuku mautnya dalam ranah publik.

Kompleksitas Persoalan

Tentunya masyarakat bukan sekadar rumput kering yang mudah terbakar manakala ada setitik api yang menyulut mereka. Keliaran dan brutalitas yang ditampakkan mereka merepresentasikan seutuhnya persoalan yang dihadapi bangsa yang rumit dan berkelindan satu dengan yang lain. Ia memperlihatkan tentang persoalan politik yang sering mengabaikan rakyat kecil, atau bahkan sering menindas masyarakat akar rumput. Sekian puluh tahun mereka sekadar dijadikan obyek kepentingan segelintir orang dan kelompok yang mengklaim diri sebagai pemilik otoritas dan kebijakan. Tindakan anarkis masyarakat yang terjadi secara beruntun dari saat ke saat mendeskripsikan masalah ekonomi yang hanya berpihak kepada pemilik modal dan kian meminggirkan masyarakat yang lemah. Hal itu juga mengungkapkan tentang persoalan pendidikan yang selain “tidak mendidik” juga telah menjadi barang komoditas yang hanya dijangkau oleh kelompok masyarakat yang memiliki duit. Dengan demikian, pendidikan tidak dapat menjangkau seluruh segmen yang ada dalam masyarakat sebagaimana pula nilai-nilainya tidak menyentuh nurani mereka.

Di atas semua itu, kekerasan dalam dan oleh masyarakat menunjukkan betapa kekerasan telah nyaris menjadi budaya kehidupan kita. Kekerasan adalah setali tiga uang dengan penyalahgunaan kekuasaan dengan segala dampak negatifnya yang merambah kuat dalam institusi pemerintahan. Serupa, dalam arti kekerasan dan praktik-praktik kotor itu sama-sama merugikan masyarakat secara keseluruhan. Ironisnya, kondisi semacam itu begitu melekat dalam kehidupan bangsa sehingga begitu sulit untuk dikurangi, apalagi dihilangkan.

Menilisik Akar Persoalan

Jika kita jujur, semua itu muncul ke permukaan sebagai salah satu penanda memudarnya moralitas dalam kehidupan bangsa. Penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan dan sebangsanya menunjuk kepada kebobrokan kedirian kita sebagai manusia. Meskipun moralitas menjadi wacana kita, dan merupakan ungkapan yang tidak pernah terlewatkan dari satu ceramah ke satu seminar, tapi kehadirannya tak lebih dari sebatas retorika dan belum menjadi bagian dari sikap dan perilaku umumnya masyarakat, apalagi elit kita. Moralitas tak lebih dari sekadar boneka pajangan yang tak memiliki roh dan makna signifikan dalam kehidupan konkret bangsa.

Merebaknya kejahatan sosial dan kemanusiaan yang berjalan seiring dengan melemahnya moralitas berakar pada berbagai persoalan yang sangat kompleks, yang satu dengan lainnya saling berkelindan. Untuk menguaknya, hal itu dapat dimulai dari penerimaan bangsa atas modernitas yang sampai derajat tertentu bersifat pasif. Mereka menerima modernitas tanpa ada upaya untuk mengkritisinya secara sungguh-sungguh, mengapresiasi aspek-aspek positif yang perlu dikembangkan secara kreatif, dan dampak negatif yang harus dihilangkan, serta pada saat yang sama mengkontekstualisasikan dengan budaya dan nilai-nilai luhur yang dianut mereka.

Padahal modernitas itu sendiri mengandung sejumlah persoalan cukup serius. Modernitas dengan rasionalitas yang melekat di dalamnya memang telah mengantarkan umat manusia (khususnya di Dunia Barat) kepada pengembangan sains dan teknologi yang cukup menakjubkan. Melalui dua pilar utama itu, manusia menguak misteri dan rahasia alam, dan pada saat yang sama muai mencoba menguasainya. Hal ini, menurut Soroush, berdampak besar pada pandangan mereka terhadap dunia dan dirinya. Akibat penguasaan mereka yang subyektif itu, mereka memiliki kesempatan untuk mengubah dunia dan pandangan tentang diri mereka secara radikal. Mereka yang sebelumnya menganggap sebagai tamu di dunia ini dengan segala kewajiban yang harus dipenuhi, sekarang mereka berkeyakinan telah menjadi tuan rumah dan sekaligus arsiteknya. Dengan demikian, mereka melihat diri mereka sebagai pemilik hak-hak tinimbang sebagai hamba yang memiliki kewajiban[2]. Mereka seakan-akan mentahbiskan diri sebagai satu-satunya penguasa di jagad raya dan kehidupan. Tidak ada lagi penguasa dan pemilik selain diri mereka sendiri yang telah menguasai sains dan teknologi.

Dalam bahasa Armstrong, kemajuan sains dan teknologi melahirkan semangat autonomi dan independensi baru yang mendorong sebagian orang untuk mendeklarasikan kebebasan manusia dari Tuhan[3]. Modernisasi semacam itu merupakan anutan dominan (sebagian) masyarakat di Dunia Barat pada abad dua puluh yang lalu yang saat ini mulai mendapat kritik tajam dari kalangan mereka sendiri.

Dalam perjalanan yang dilalui, “keangkuhan” mereka itu selain tidak mampu menyelesaikan segala persoalan yang mereka hadapi, ternyata juga telah menambah persoalan terhadap umat manusia dari belahan dunia yang lain. Dengan keangkuhannya itu, mereka berusaha untuk menguasai bangsa-bangsa lain. Dari sana lahirlah kolonialisme dari bentuknya yang klasik hingga yang bersifat neo-kolonialisme yang membuat manusia, terutama di negara-negara berkembang, nyaris sepenuhnya bergantung kepada bangsa-bangsa maju yang modern di Dunia Barat. Neo-kolonialisme yang berkembang saat ini memaksakan, mendekte kepada masyarakat Dunia Kedua dan Ketiga “kebutuhan-kebutuhan” kehidupan mereka. Korporat sejagad di Dunia Pertama menjadikan apa yang sebenarnya belum menjadi kebutuhan masyarakat sebagai sesuatu yang tampak dibutuhkan dalam kehidupan mereka. Kenaifan dan ironi lalu sering menimpa kehidupan mereka.

Pada posisi demikian masyarakat kita umumnya menerima modernisasi. Kenyataan itu membuat masyarakat dikejar-kejar “kebutuhan” yang sejatinya belum menjadi keperluan hidup mereka. Mereka lalu menjadi makhluk konsumtif yang memangsa dengan rakus segala yang berbau atau datang dari Barat. Kendati tidak seluruh masyarakat tergila-gila dengan Barat, tapi konsumerisme nyaris menjadi bagian dari hidup mereka. Bagi mereka, modernitas –tidak lebih dan tidak kurang –adalah Barat;. Bahkan sebagian lagi mereduksinya dengan mengidentikkannya dengan sekadar budaya populer yang di Barat sendiri mulai dikritik dan dipersoalkan.

Di balik pola hidup konsumtif, pragmatisme menyeruak atas, dan merebak ke dalam kehidupan sebagai anutan hidup masyarakat dalam berbagai lapisannya. Sikap ini membuat mereka tidak mampu melihat hal-hal yang jauh, dan menjadikan mereka kurang peka terhadap hal-hal yang bersifat substantif. Mereka lalu terbiasa dengan kehidupan yang hanya tampak di depan mata yang kebanyakan lebih bersifat semu. Pragmatisme menyebabkan mereka terbuai dengan hidup kekinian, kesesaatan semata, serta mendorong mereka untuk selalu mendapatkannya. Untuk itu, mereka sering terperangkap ke dalam cara-cara yang tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai moralitas universal atau kearifan budaya lokal. Mereka lebih mementingkan kesaat-inian dan kedirian mereka sendiri, tanpa suatu pegangan yang kokoh bagaimana menatap masa depan yang lebih humanis, bermoral dan menjanjikan bagi semua.

Konkretnya, masyarakat tampak mudah terombang-ambing dalam menyikapi perkembangan kehidupan dan perubahan sosial yang berjalan begitu cepat. Mereka kurang memiliki pegangan yang kokoh. Bagaimana pun juga, setiap perubahan sosial dengan laju dan skala yang besar tentu akan mengakibatkan krisis yang besar pula. Di antaranya adalah goyahnya sistem nilai yang selama ini diterima dan dihayati dirasakan (atau tepatnya, dianggap) tidak lagi relevan atau responsif terhadap keadaan yang telah berubah[4]. Dalam kondisi seperti itu, hanya sedikit masyarakat yang dapat mengembangkan secara kreatif nilai-nilai lama yang mereka pegang dan mengkontekstualisasikan ke dalam hidupn kekinian. (Ini pun dalam pengembangannya masih sangat terbatas, parsial, serta belum mampu dijadikan tawaran untuk pijakan kokoh masyarakat luas). Selebihnya, dalam jumlah yang besar, terseret ke dalam pusaran arus besar yang di dalamnya nilai-nilai moral dan kearifan kehidupan mengalami penggerusan sehingga nyaris terkelupas dari kehidupan itu sendiri.

Pendidikan yang seharusnya menjadi tumpuan harapan untuk meneguhkan moralitas, selain pengembagan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, justru ikut terjebak ke dalam pola pandangan yang berbatas tipis dengan paragmatisme. Banyak lembaga pendidikan yang hanya dapat mengembangkan manusia yang lebih berorientasi kepada aspek formalitas semata, serta sekaligus kurang memiliki komitmen dalam penanaman nilai-nilai luhur yang responsif terhadap perubahan sosial dan perkembangan kehidupan. Lebih dari itu, banyak institusi pendidikan yang kehadirannya lebih sebagai alat –disadari atau tidak –untuk memperteguh kondisi yang ada dalam bentuk kurangnya perhatian kepada pengembangan generasi penerus yang mandiri dan memiliki jati diri yang tegar yang relatif antisipatif terhadap kehidupan di masa depan. Meminjan konsep Freire, pendidikan yang berjalan dominan –kendati rekonstruksi kritis terhadap dunia pendidikan saat ini sudah mulai dikembangkan –masih bersifat pendidikan gaya bank yang menjadikan peserta didik sebagai obyek yang terus dijejali ilmu pengetahuan. Akibatnya, mereka menjadi tidak kreatif dan kritis dalam menyikapi segala hal yang mereka terima[5]. Pola pendidikan ini hanya menjadikan manusia mengetahui kebenaran, nilai-nilai, dan sebangsanya sebatas mengetahui, tanpa memahaminya secara kritis sehingga sulit untuk meyakininya. Ketika mereka berada dalam dunia konkret dan menyaksikan perubahan kehidupan yang begitu cepat dan dahsyat, mereka mengalami kesulitan untuk mengkonktekstualisasikan semua yang mereka ketahui, mereka yakini ke dalam kehidupan konkret sebagaimana pula tidak pernah mengalami internalisasi nilai-nilai itu ke dalam kedirian mereka. Mereka lalu menjadi gamang, dan akhirnya mudah terbawa arus. Karakter demikian merupakan karakter kuat sebagian masyarakat dan para elit kita.

Kondisi yang demikian membuat krisis demi krisis melanda bangsa. Krisis berjalan dalam bayang-bayang memudarnya moralitas yang dari saat ke saat tampak kian memprihatinkan. Maka sebuah rekonstruksi holistik menjadi sebuah keniscayaan, atau bangsa ini akan ambruk, cepat atau perlahan©.



[1] Arbi Sanit. “Korupsi Sebagai Sistem Politik Penjarahan” dalam A. S. Burhan et. al. (ed.). Korupsi di Negeri Kaum Beriman. Cetakan I, (Jakarta: P3M –Kemiotraan Partnership, 2004), hlm. 6.

[2] Abdul Karim Soroush. Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama. Terjemahan, Cetakan I, (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), 87.

[3] Karen Armstrong. A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam. (New York: Ballantine Books, 1993), hlm. 346

[4] Nurcholish Madjid. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Ceakan I, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 87.

[5] Lihat Paulo Freire. Pendidikan Kaum Tertindas. Cetakan I, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 49 ff.

No comments: