KOLABORASI AGAMA, BAHASA DAN KEKUASAAN;
BERBINCANG DENGAN DAN MENGKRITISI ARKEOLOGI PEMIKIRAN ADONIS
Oleh Abd A’la
Pendahuluan
Dalam pemikiran ke(ber)agamaan, orisinalitas, autentisitas dan sejenisnya merupakan unsur yang sama sekali tidak bisa diabaikan. Autentisitas dijadikan kriteria utama untuk menentukan keabsahan dan ortodoksi keberagamaan suatu kelompok dan aliran keagamaan atau seseorang. Bahkan keberagamaan yang autentik nyaris diidentikan dengan agama itu sendiri; sebagai sesuatu yang ortodoks dan absah yang sering, bahkan selalu, menafikan pola keberagamaan lain dan meletakkannya sebagai kesesatan yang tidak sejalan dengan nilai dan ajaran agama.
Persoalan yang kemudian mengedepan terletak pada kriteria dan ukuran untuk menjelaskan apa saja yang masuk, dan apa saja yang berada di luar autentisitas. Dalam perjalanannya, otoritas untuk menilai dan mengontrol hal itu terkait erat dengan kekuasaan, yang dalam perspektif sejarah pemikiran Islam mewujudkan diri, di antaranya, pada khilafah. Dalam bahasa Adonis, khilafah tidak saja merupakan titik temu antara agama dan dunia, tapi juga merupakan simbol dominasi agama atas dunia, dan sekaligus praktik dominasi tersebut. Karena itu, apa yang muncul dari kekuasaan sering diyakini, atau dipaksakan sebagai bagian intrinsik agama yang memiliki kebenaran (nyaris) absolut. Untuk memperkuat dominasi –atau sampai derajat tertentu, perselingkuhan –itu, kata dan bahasa memainkan peran yang cukup signifikan. Pada sisi ini –meminjam ungkapan Dhakidae –terjadinya titi temu antara agama dan kekuasaan. Melalui interplay ketiga unsur itu kebenaran, keberhakan dan sejenisnya dibentuk dan distandarisasi. Pada gilirannya, keberhakan adalah milik kekuasaan dominan; keberhakan adalah kemapanan atau kekuasaan itu sendiri. Dominasi ini tentu tidak selamanya bergulir di atas dukungan seluruh masyarakat. Realitas menunjukkan, dari saat ke saat selalu ada kelompok yang menolak dominasi, menentang atau menantang kemapanan.
Seluk beluk persoalan semacam itu yang diangkat Adonis melalui karyanya al-Tha>bit} wa al-Mutah}awwil: Bahth fi al-Ibda` wa al-Ittiba>` ‘ind al-‘Arab dalam tiga volume. Karya penelitian ini mengangkat persoalan kemapanan dan kedinamisan yang terjadi dalam seluruh perwujudan budaya dan peradaban masyarakat Arab yang mencakup politik, keilmuan, terutama ilmu keagamaan, dan ilmu-ilmu kebahasaan dan kesusasteraan. Dalam konteks kekinian dan keindonesiaan, kajiannya mengenai pemikiran keagamaan dalam hubungannya dengan politik dan bahasa sangat menarik untuk dibincang karena hal itu sampai batas tertentu merupakan fenomena yang terus terjadi dalam kehidupan bangsa. Kendati sejak awal perlu dipahami bahwa di sana sini ada perbedaan yang tidak mungkin digeneralisasi secara simplistis.
Tradisi Arab-Islam; Kemapanan Sebagai Autentisitas
Sejak kehadiran Islam di tanah Arab, Islam tumbuh berkembang sebagai keyakinan dan dasar pijakan dalam sikap dan pandangan masyarakat Arab dalam merajut segala aspek kehidupan mereka. Islam menjadi tradisi yang terus mempengaruhi mereka dari saat ke saat. Tradisi yang berasal dari Islam itu dibingkai bersama dengan kearaban mereka, terutama aspek kebahasaan. Dari sana, mereka memulai dan mengembangkan kehidupan mereka. Bagi mereka, Islam dan Arab telah disikapi sebagai satu entitas yang tidak mungkin dibedakan, apalagi dipisahkan antara yang satu dari yang lain.
Berpijak pada Islam-Arab itu, peradaban Islam –khususnya pemikiran –“dikembangkan”, dilestarikan, dan kemudian dikokohkan. Pemikiran yang niscaya untuk dikembangkan adalah yang genuine yang dalam anggapan mereka mencerminkan keislam-araban. Strategi ini menemukan momentumnya, salah satunya, dalam pemikiran keilmuan fiqh. Bahkan dalam pandangan al-Jabiri, peradaban Islam adalah peradaban fiqh. Fiqh tanpa diragukan lagi merupakan produksi ciptaan Arab Islam murni yang sangat berpengaruh dalam dunia Islam. Karena posisinya yang sentral itu, disiplin ilmu-ilmu yang lain, ilmu yang berkaitan dengan al-Quran dan Sunnah, ilmu bahasa, bahkan ilmu pasti dikembangkan dan diabdikan untuk ilmu fiqh. Dalam kitab fiqh ini kitab-kitab mukhtasar dan sharh ditulis; kitab fiqh yang besar diringkas, dan pada saat yang lain juga dikomentari. Pola ini dalam rentang waktu yang sangat panjang berkembang menjadi tradisi dari intelektualisme Islam.
Sejatinya, menurut Makdisi, fiqh sebagai sistem pemikiran menempati posisi di antara dua aliran ekstrem dalam pemikiran ilmu-ilmu keislaman. Fiqh menengahi dominasi dengan memanfaatkan akal sebagai pendukung. Pemikiran ini berupaya membangun jalan tengah antara rasionalisme moderat dan tradisionalisme progresif dengan menahan laju dominasi teologis filosofis, dan sekaligus menghalangi gerak fanatisme yang berlebihan kepada Hadith.
Posisi fiqh seperti itu tampaknya seutuhnya terangkat dalam kenyataan konkret. Sebab realitas sejarah yang dilalui menunjukkan betapa fiqh sering mewujudkan diri sebagai kekuatan dominan yang cenderung menyikapi kebenaran agama sebagai kebenaran fiqh dan jalan tengah yang diupayakannya terantuk kepada absolutisme. Hal ini terjadi ketika seseorang atau kelompok –memodifikasi penjelasan El Fadl –menggunakan otoritas Tuhan untuk menjustifikasi despotisme. Dengan berlindung di balik kehendak Tuhan, mereka mengganti posisi Tuhan dan menjadikan diri mereka sebagai satu-satunya suara otoritas. Fiqh lalu menjadi iron law of authoritarianism yang cenderung meletakkan penafsiran dan hasil pemikiran sebagai Teks itu sendiri dan menafikan adanya gerak dan dinamika perubahan dalam kehidupan.
Tafsir sebagai bagian ilmu-ilmu al-Quran yang kehadirannya –sebagaimana diangkat sekilas sebelum ini –untuk mendukung fiqh juga terletak dalam bingkai dan kriteria sebagaimana yang ada dalam fiqh. Hal itu tampai jelas dalam Tafsir al-T}abari yang dikembangkan berdasarkan pengambilan terhadap riwayat-riwayat tertentu, dan pada saat yang sama menolak yang lain. Sejalan dengan itu, koleksi Hadith juga dikonstruk menjadi sumber otoritatif bagi fiqh.
Persoalan seputar itu merupakan area yang ingin diulas dan dikritisi oleh Adonis. Dalam analasisnya, pemikiran semacam itu kemudian berkembang sebagai al-tha>bit, sesuatu yang dibangun atas dasar masa lalu yang ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga orang dan kelompok yang pemikirannya berada di luar al-tha>bit akan mengalami pengasingan. Dalam ungkapan yang lain, al-tha>bit berkembang sebagai sesuatu yang berhimpitan dengan dogma yang tidak boleh diganggu gugat.
Al-tha>bit yang dalam istilah Arkoun berwujud dalam bentuk Nalar Islam Klasik (NIK) meletakkan bahasa, kebenaran, hukum dan sejarah dalam satu kesatuan. Nalar ini menjadi nalar ortodoks yang tidak mengakui kemungkinan nalar-nalar pesaing untuk mencapai kesahihan yang sama dengan kesahihannya, atau hal-hal lain yang terkait dengan itu.
Nalar Saingan
Dalam sejarahnya, al-tha>bit ini selalu berhadapan dengan al-mutahawwil, sesuatu yang dikembangkan orang atau kelompok tertentu untuk menolak otoritas atau keberhakan yang distandarisasi pendukung al-tha>bit. Al-mutah}awwil sebagai saingan hadir untuk menggugat kemapanan yang ada, atau bahkan dalam rangka menghancurkan al-tha>bit yang selama ini nyaris dijadikan satu-satunya kebenaran. Sementara nalar ortodoks berlabuh dalam keilmuan fiqh, nalar saingannya mengokohkan diri dalam keilmuan yang lain, terutama teologi Islam dan gerakan yang bernuansa sufistik.
Dari penelusuran yang dilakukan, Adonis menunjukkan pemikiran teologis Khawarij sebagai nalar saingan yang muncul pada masa-masa awal Islam. Nalar ini menemukan pijakan yang kokoh di tangan Mu’tazilah yang berupaya merumuskan kembali persoalan agama secara rasional. Bagi kelompok ini, agama adalah akal itu sendiri. Karena itu, agama tidak memiliki signifikansi apa pun jika bertentangan dengan akal. Keberpegangan pada nalar ini, pada saat yang sama, menjadikan manusia sebagai subyek sentral dalam seluk beluk kehidupan. Dalam bahasa budayawan yang bernama asal Ali Ahmad Said itu, kecenderungan tah}awwul adalah menempatkan manusia sebagai poros dan tujuan, dan menjadikan alam sebagai kreativitas kemanusiaan. Sejalan dengan itu, tah}awwul menekankan pada dialektika berbagai pihak yang tidak saling menafikan satu sama lain, tapi justru saling melengkapinya.
Tentunya sifat-sifat dan kecenderungan tah}awwul tersebut, bila dikaitkan dengan nalar Islam-Arab, lebih bersifat teoritis yang lebih banyak berada di atas kertas dan belum berlabuh secara kokoh dalam realitas sejarah. Sepak terjang Mu’tazilah sebagai agama resmi wangsa Abbasiyah pada periode awal memperlihatkan dengan nyata keberadaannya sebagai nalar yang memiliki karakteristik yang sulit dibedakan dengan NIK, terutama dari segi represi dan klaim kebenaran sepihak. Tah}awwul lalu tak lebih dari sekadar proses yang berlabuh kepada al-thub>ut yang ironisnya akhirnya tampak begitu kerasan dalam kemapanan itu. Fenomena semacam itu yang kurang diulas secara kritis dan holistik oleh Adonis.
Bangunan Epistemologi Arab-Islam; Kolaborasi Agama, Bahasa dan Kekuasaan
Membincang tradisi masyarakat Arab-Islam, aspek bahasa merupakan tradisi yang berperan sangat menentukan dalam perjalanan kehidupan mereka. Bahasa merupakan sistem dan mekanisme yang menjadi dasar dalam pembakuan hampir keseluruhan peradaban mereka. Untuk itu, konservasi bahasa melalui berbagai cara –dari yang alami hingga ke pengalihan dalam bentuk tulisan –sebagai proyek besar mereka. Dari bahasa, atau dengan menggandeng bahasa, peradaban mereka yang lain, nalar Arab dibentuk, “dikembangkan”, dan dilestarikan.
Berdasarkan penelitiannya, Adonis menegaskan bahwa dalam prespektif paradigmatik dan ideologis mereka yang ortodoks kebenaran –adalah sistem bahasa di mana manusia selalu berada dalam kerangka kebahasaan. Dengan demikian, kebahasaan menjadi rumah yang memuat seluruh alam yang ditinggali setiap orang. Dalam bahasa mereka hidup, dan melalui bahasa mereka menyikapi kehidupan dan merajut nyaris segala aspek kehidupan mereka.
Puisi Jahiliyah –sebagai bagian dari bahasa –menjadi rujukan dalam bentuk bukan hanya bagi puisi Arab-Islam, tapi juga bagi keilmuan Islam yang lain. Hal itu dapat dilacak dari metodologi baya>ni> yang menjadi dasar epistemologi hampir semua nalar Arab dari yang ortodoks hingga pesaingnya. Struktur baya>n ini pada saat yang sama dalam pandangan para pakar bahasa Arab berdasar dan merujuk kepada tashbi>h. Dari struktur ini kemudian dikembangkan qiyas dalam fiqh, dan konsep istidla>l bi al-sha>hid ‘ala> al-gha>ib dalam teologi Islam.
Bagi kalangan ortodoks, bahasa ujaran merupakan manifestasi terhadap makna. Puisi yang baik (yang kesempurnaan bentuknya ada dalam jahili, pen.) adalah ungkapan yang sejajar dengan maknnya. Dalam kerangka itu pula, ungkapan yang baik adalah yang tidak ada metafora, tapi ilustrasi. Karena itu, di dalam al-Quran tidak ada metafora, tapi hakiki semua. Mereka menolak metafora karena metode ini identik penafsiran; padahal ini yang harus dihindari dalam memahami agama. Karena penafsiran/ta’wil relatif, sedangkan agama adalah absolut.
Peneguhan ortodoksi ini sama sekali tidak bisa dilepaskan dari politik kekuasaan. Konkretnya, ada kolaborasi antara agama, dan kekuasaan. Hal ini dapat dibuktikan –menurut budayawan intelektual yang kontroversial itu –ketika kekhalifahan menjadi institusi keagamaan yang mengetahui bukan hanya kehidupan lahir manusia, tapi juga mengetahui aspek batin manusia. Khalifah selain menentukan tindakan manusia, juga menentukan pikiran mereka. Dari sini kekuasaan menjadi penentu pemikiran mana yang dianggap benar dan mana yang dianggap sesat. Pemikiran keagamaan yang berbeda dan tidak mendukung terhadap kekuasaan dipinggirkan dan dianggap sebagai heterodoks.
Ironisnya, epistemologi semacam itu pula yang digunakan nalar saingan, dan pada saat yang sama ia juga berselingkuh dengan kekuasaan. Agama di tangan kelompok ortodoks-konservatif dan di hadapan kelompok penantangnya menjadi rebutan yang sering berujung kepada persoalan kekuasaan. Ketika berada dalam lingkaran kekuasaan, banyak dari kedua pendukung nalar yang pada awalnya berbeda itu lalu sama-sama terjebak ke dalam konservatisme. Lambat atau cepat, ia menjadi nalar yang nyaris sama dengan nalar pendahulunya.
Pertarungan yang saling menafikan itu mengantarkan Adonis kepada pandangan yang cukup radikal. Ia berargumentasi, untuk mengatasi krisis persoalan, masyarakat Arab-Muslim memerlukan kepada perubahan substantif yang menyeluruh yang hanya dapat dilakukan melalui revolusi. Revolusi ini adalah revolusi kebudayaan yang tidak hanya bersifat permukaan, tapi merupakan pembebasan dalam segala tataran dan segala aspeknya.
Analisis dan tawaran semacam itu sangat menggugat keberadaan nalar Arab-Islam. Dengan demikian tidak berlebihan jika ia pada gilirannya menjadi tokoh cukup kontroversial yang pemikiran dan ide-idenya sulit diterima kalangan masyarakat Arab-Islam.
Catatan Penutup
Menyikapi kritisisme Adonis, persoalannya lalu terletak pada kemungkinan-tidaknya upaya merealisasikan proyek besar tersebut. Sejauh mana ia mampu meyakinkan bangsa Arab bahwa ide yang dikembangkan bertujuan untuk menjadikan Arab-Islam dapat mengembangkan modernitas dan kreativitas di atas nilai-nilai dasar luhur mereka. Dari sini kemudian mereka mampu mengembangkan diri sebagai bangsa yang modern, sejajar atau melebihi bangsa-bangsa yang maju, tanpa harus kehilangan identitas mereka.
Sejatinya, persoalan yang diangkat Adonis –sampai batas tertentu –merupakan persoalan yang juga dihadapi masyarakat Muslim di kawasan yang lain, atau bahkan masyarakat berkembang secara umum. Hubungan antara modernitas dan tradisi, antara kreativitas dan kemapanan adalah isu yang tidak pernah selesai. Dalam konteks Islam, persoalannya bertambah runyam ketika kearaban dengan segala unsur pendukungnya dianggap sebagai bagian intrinsik dari keislaman.
Dalam menyikapi hal, banyak kelompok yang terjebak kepada pola pandang dikotomi yang beroposisi biner. Maka yang berkembang kemudian adalah pertarungan tanpa henti yang saling meniadakan. Pada tahap berikutnya, persoalan yang dihadapi bukan lagi pada pengembangan nalar, atau agama itu sendiri, tapi pada pola dan gerakan sekadar untuk melumpuhkan nalar di luar nalar yang dipertahankan. Artinya ada kepentingan praktis atau bahkan pragmatis yang menjadi bingkai pola pandang mereka yang sering mewujudkan diri dalam kekuasaan.
Kekuasaan memang bukan satu-satunya akar masalah. Fenomena itu muncul dari sebuah sistem yang sangat kompleks yang mengeram dalam unsur-unsur peradaban Islam itu sendiri, dari budaya, pendidikan hingga ekonomi. Karena itu, upaya melepaskan diri dari cengkeraman itu –sebagaimana dinyatakan Profesor bahasa Arab dari Sorbonne itu –melalui rekonstruksi yang menyeluruh yang membebaskan. Pada tataran ini, tawarannya perlu didiskusikan secara lebih kritis. Revolusi yang diancangkan sebagai upaya perubahan yang holistik tidak selamanya menyelesaikan persoalan. Jika tidak hati-hati hal itu justru sering memperkokoh pola pandang oposisi biner.
Mencermati pola pemikirannya, tokoh kontemporer asal Syria itu senyatanya terpengaruh dengan dekonstruksi derridian. Melalui dekonstruksi ini seharusnya yang dicari dan dikembangkan adalah tatanan alternatif di luar tatanan oposisi biner hirarkis, tapi juga bukan sintesis hegelian yang mendamaikan antara tesis dan antitesis. Menurut Derrida –sebagaimana dikutip Sumarwan –perbedaan yang tampak dari oposisi itu tidak dapat didamaikan, dinaturalisasi, atau dihilangkan. Perbedaan adalah kondisi bagi sebuah sistem pemaknaan melalui tanda-tanda. Tanpa perbedaan seluruh sistem penandaan akan runtuh dan tidak akan memiliki makna lagi. Secara prinsip, dekonstruksi merupakan cara untuk membuka mata, telinga, dan pikiran bagi perbedaan, bagi pihak lain dengan tetap menghormati kelainan pihak lain itu, tanpa upaya mereduksi yang lain menjadi sama. Prinsip-prinsip ini sesungguhnya yang harus dikembangkan dalam menangani masalah al-tha>bit dan al-mutah}awwil. Namun hal itu belum diolah-kembangkan secara kritis oleh tokoh yang juga sebagai profesor sastera Arab di Lebanese University.
Persolan lain yang perlu dibincang adalah pandangannya yang menyatakan bahwa orang Arab –apa pun aliran atau kelompoknya –dipastikan tunduk kepada ukuran-ukuran yang lalu, pewarisan tradisi, dan perujukan al-salaf. Namun ia tidak banyak mengurai posisi pemikiran Wahhabi, yang dilihat dari sudut mana pun merupakan salah satu representasi dari fenomena tersebut.
Wednesday, December 3, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment