Tuesday, December 2, 2008

Opinion

AGAMA LIPSTICK
Oleh Abd A`la
Sejumlah persoalan besar terus menghadang di hadapan bangsa, dari penyalahgunaan kekuasaan yang rama-ramai dilakukan kaum politisi dan penguasa hingga kekerasan teroristik yang tidak ketahuan lagi ujung-pangkalnya. Sejatinya, semua itu merupakan tantangan yang harus dihadapi dan dilawan oleh bangsa ini. Namun tampaknya masalah itu terlalu lamban disikapi dan ditindaklanjuti penyelesaiannya. Akibatnya, hal itu berubah menjadi ancaman serius yang menggugat eksistensi kita sebagai bangsa yang beradab.
Saat ini penyalahgunaan kekuasaan tampak begitu fenomenal menjangkiti kalangan politisi dan penguasa. Sementara kaum politisi menjadikan partai politik sebagai ajang perebutan kepentingan di kalangan mereka, serta menjadikan rakyat sebagai obyek kepentingan, para penguasa dan aparat negara yang lain memperalat institusi untuk meneguhkan kekuasaan dan mencari peluang yang bersifat pragmatis. Ujung-ujungnya, korupsi dan praktik-praktik kotor yang lain terjadi di mana-mana melibatkan beberapa kepala daerah, anggota legislatif dan lain-lainnya. Terakhir kasus di Kejaksaan Agung benar-benar menampar wajah bangsa.
Ada kesenjangan cukup lebar antara perkataan dan tindakan, antara penampakan dan kenyataan yang sebenarnya. Ironisnya, para politisi yang mengeksploitasi rakyat, dan para pelaku kejahatan yang mengeruk uang negara dan rakyat itu terkesan kuat hampir tidak merasa bersalah, atau merasa malu dengan kesalahan mereka. Justru ada kecenderungan, mereka tampak menganggapnya sebagai persoalan lumrah; atau paling banter, mencari orang lain untuk dijadikan kambing hitam.
Di tengah-tengah menguatnya fenomena itu, gejala lain yang tidak kalah kotor dan jahatnya juga merebak. Tindakan yang berbau teroristik terus menggema dalam kehidupan bangsa. Jika dulu, pelaku teror masih bersifat gentle (kendati tetap tidak dapat dibenarkan) dengan mengaku bertanggung jawab atas tindakan mereka, sekarang terkesan kuat para pelakunya lebih bersifat pengecut. Bahkan ada kecenderungan pelaku ingin menimpakan atau mencari kesalahan pada orang lain.
Ironi
Kenyataan itu menyisakan ironi yang cukup dalam. Sebab penyalahgunaan kekuasan dalam beragam bentuknya serta kekerasan biadab yang dilakukan orang atau kelompok yang tidak bertanggung jawab justru terjadi di tengah-tengah menguat dan semaraknya keberagamaan masyarakat. Di berbagai tempat ada greget cukut kuat untuk menegakkan agama formal. Dari saat ke saat ritual-keagamaan dijalankan secara patuh oleh sebagian besar masyarakat, dari yang awam hingga para petinggi. Dari bulan ke bulan, upacara peringatan keagamaan marak di adakan di berbagai tempat, dari tingkat kampung hingga pusat. Bahkan upaya formalisasi syariah menjadi fenomena di berbagai daerah. Namun pada saat yang sama, hampir mereka pula yang melakukan kejahatan. Setidaknya, mereka mengabaikan terjadinya tindakan yang tidak bermoral itu.
Agama (tepatnya, keberagamaan) yang mereka jalankan ternyata tidak mampu menyekat mereka dari perilaku-perilaku jahat yang merugikan orang lain; atau minimal, agama yang mereka anut tidak bisa menjadikan mereka peka terhadap degradasi moral dalam beragam bentuknya yang terjadi di sekeliling mereka. Mereka beragama dan taat menjalankan ajaran-ajaran agama yang bersifat eksternal, tapi sekaligus mereka juga melakukan kejahatan dan perbuatan munkarat yang dari perspektif agama mana pun tidak akan pernah dibenarkan.
Dengan pola semacam itu, mereka senyatanya menganut agama lipstick. Mereka menjadikan agama sebagai alat untuk mempercantik diri, untuk menyembunyikan borok-borok yang melekat pada sikap dan perilaku mereka. Yang tampak dalam sesaat dan selintas adalah wajah mereka yang bersih putih, tapi di balik kulit tipis itu sedang bersarang virus akut yang mematikan, bukan hanya terhadap diri mereka sendiri, tapi juga terhadap orang lain, rakyat dan negara.
Agama lipstick ini, menurut Allport –sebagaimana dikutip Jalaluddin Rakhmat (1986: 26) –merupakan keberagamaan ekstrinsik. Agama dianggap sebagai something to use, but not to live. Agama digunakan untuk menunjang motif-motif yang berkaitan dengan kebutuhan akan status, rasa aman, harga diri, dan semacamnya. Dengan demikian, para penganutnya berpaling kepada simbol atau ritual agama dan kepada Tuhan, tapi tidak mau berpaling dari diri mereka sendiri yang penuh dengan kebejatan, keserakahan, dan sikap atau perilaku jahat yang lain.
Mereka berpaling kepada Tuhan sekadar mencari perlindungan diri atau menutup aib. Mereka berpaling kepada simbol dan ritual agama lebih sebagai penebusan dosa sosial mereka yang senyatanya tidak akan pernah terampuni tanpa mereka melakukan pertobatan sosial pula. Bahkan mereka terkadang menjadikan agama sebagai justifikasi terhadap perilaku mereka yang bejat. Pada satu pihak, mereka nyaris melegalkan praktik-praktik kotor yang merugikan masyarakat dan rakyat dengan alasan sebagai tindakan kepepet yang dilegalkan agama. Pada pihak lain, mereka yang melakukan tindakan teroristik berdalih bahwa tujuan tindakan mereka adalah luhur, demi menegakkan agama, mengungkap atau menghancurkan konspirasi kejahatan kelompok lain, dan sebagainya.
Rekonstruksi Keberagamaan
Terkait dengan itu, persoalan mendesak yang perlu diselesaikan adalah upaya pengembangan suatu sistem holistik yang tidak memungkinkan siapa pun untuk melakukan praktik-praktik kotor dan tindakan jahat. Pada saat yang sama, akar persoalan yang menyebabkan semua kejahatan itu perlu diangkat dan diselesaikan secara serius dan sistematis.
Dalam kerangka itu, persoalan ke depan yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah rekonstruksi keberagamaan kita. Meminjam ungkapan Allport, kita perlu merekonstruksi keberagamaan esktrinsik menjadi keberagamaan intrinsik. Nilai agama, bukan formalisasi agama perlu dikembangkan sebagai komitmen komprehensif, serta motif pendorong utama yang dapat mengintegrasikan kehidupan dalam nilai-nilai etika-moral luhur. Kita tidak sekadar cukup beragama, apalagi mengedepankan simbol dan formalisasi agama. Namun kita dituntut untuk menemukan Tuhan dan membumikan sifat-sifat-Nya yang relevan dengan kemanusiaan ke dalam kehidupan. Dengan demikian keadilan, kejujuran, tanggung jawab, solidaritas sosial, serta nilai luhur yang lain akan menjadi watak utama bangsa. Setelah itu, kita niscaya untuk mengusung nilai-nilai moral luhur itu ke ranah publik dengan mengembangkannya sebagai dasar sistem kehidupan yang mengikat kokoh segala tindakan individual dan sosial kita.
Pada tataran itu, dialog antar-agama yang intens dan berkesinambungan mutlak diperlukan sehingga semua penganut agama menjadikan nilai-nilai itu sebagai milik bersama, dan berkomitmen untuk melabuhkannya dalam kehidupan konkret. Tanpa itu, agama hanya akan menjadi pemerah bibir yang tidak berperan signifikan dalam kehidupan.
Di sini tentunya diperlukan suatu ketulusan bersama dan membuang jauh klaim kebenaran sepihak dengan segala turunannya. Melalui proses itu, kita bisa memberantas –minimal mengurangi secara signifikan –praktik-praktik kotor dan kejahatan sosial kemanusiaan lain yang telah menjadi wabah menakutkan di negeri ini©.

No comments: