Tuesday, December 2, 2008

Opinion

MISI PROFETIK ISLAM vis-à-vis KLAIM KEBENARAN SEPIHAK
Oleh Abd A`la*
Hadirnya agama dalam kehidupan umat manusia dimuati sepenuhnya dengan misi pencerahan; pencapaian kesempurnaan hidup dalam bentuk membumi dan langgengnya kebahagiaan individu dan masyarakat. Tilikan Armstrong dalam The Battle for God (2000) menyebutkan, agama-agama yang muncul pada zaman aksial yang merentang dari sekitar tahun 700 sampai dengan 200 SM memiliki banyak kesamaan dari sisi teologis dan misi yang diemban. Semuanya berdasar pada tradisi lama (dan wahyu, aa) untuk membangun konsep tentang Zat transenden yang esa dan universal dengan misi mempertajam spiritualitas, dan pengembangan kasih sayang.
Misi profetik semacam itu yang dikembangkan dalam ajaran Islam. Sebagaimana ditegaskan al-Quran, agama ini diturunkan dalam rangka mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan universal, kebaikan perennial. Melalui nilai-nilai itu umat Islam dituntut dapat mengemban amanat Tuhan sebagai khalifah Tuhan di muka bumi dengan peran memakmurkan dunia, serta mensejahterakan kehidupan. Sebagai representasi konkret dari ajaran itu, Tuhan mengutus Muhammad (saw) sebagai rahmat bagi sekalian alam dengan membawa ajaran dan nilai Islam yang bersifat universal seperti keadilan, kesetaraan, solidaritas sosial, dan perdamaian.
Manusia dalam kapasitasnya sebagai khalifah Tuhan dituntut dapat menerjemahkan serta mengembangkan ajaran dan nilai-nilai universal Islam tersebut dalam sejarah konkret umat manusia. Nilai dan ajaran Islam yang bersifat absolut itu perlu diterjemahkan ke dalam dinamika dan perubahan kehidupan yang terus berkembang. Dengan demikian universalitas Islam akan menemukan lahan yang nyata pada kehidupan umat dalam bentuk konkretisasi ajaran dalam sejarah.
Namun dalam realitasnya, tidak semua umat Islam menerima kenyataan sejarah tersebut. Sebagian kelompok justru mengingkari terhadap keberadaan Islam sebagai agama yang memiliki dua dimensi: normatif dan historis. Mereka menafikan historitas keberagamaan umat dari masa ke masa, atau antara satu tempat dengan tempat lain melalui sudut pandang yang dikotomis. Mereka mereduksi agama dari esensi yang sebenarnya melalui pola pandang dari sisi normatif semata yang dalam anggapan mereka telah direpresentasikan nyaris secara utuh oleh keberagamaan mereka. Sedangkan segala pola keberagamaan yang tidak sesuai dengan pola yang dianut mereka dianggap tidak merepresentasikan normativitas agama dan karena itu dianggap heterodoks, bid`ah, sesat yang harus diperangi dan dihancurkan.
Adanya kelompok yang menafikan aspek historis tersebut dapat dilacak pada kemunculan sekte Khawarij. Sekte ini dengan klaim kebenarannya yang eksklusif merupakan contoh konkret sebagai salah satu aliran yang mengabaikan realitas kehidupan dengan segala pluralitasnya. Mereka mengingkari keberadaan dan keabsahan aliran-aliran Islam yang lain melalui pengkafiran terhadap aliran yang berada di luar kelompok mereka. Pola keberagamaan ini –sebagaimana sejarah membeberkan –berujung pada tragedi kemanusiaan yang sangat mengerikan; pertumpahan darah yang sulit dihentikan dalam waktu sesaat.
Kelompok atau dan orang semacam itu tidak menyadari bahwa keberagamaan umat sangat dipengaruhi oleh dimensi pendidikan, sosial, politik yang melatarbelakangi kehidupan mereka. Latar belakang itu menjadi faktor penentu bagi umat beragama dalam menafsirkan dan memahami pesan dan nilai agama. Karena itu, Islam tidak dapat dilepaskan dari dimensi historis yang mewujudkan diri dalam keberagamaan umat sepanjang sejarah mereka. Sejatinya agama dalam bentuk keberagamaan umat adalah identik dengan interpretasi dan pemahaman mereka terhadap agama. Religiusitas bukan agama normatif itu sendiri yang absolut, tapi bersifat historis yang penuh dengan kenisbian, tapi sekaligus harus mampu dipertanggung-jawabkan.
Berdasarkan hal itu, absolutisme dalam beragama merupakan bentuk ekstremitas yang dilihat dari sudut mana pun kurang memiliki pijakan yang kokoh dalam nilai-nilai Islam yang sangat mengedepankan moderasi dan nilai-nilai sejenis. Selain akan merugikan umat Islam secara keseluruhan, pola itu juga tidak akan pernah dapat mengembangkan suatu kehidupan damai sebagaimana menjadi tujuan agama Islam dan agama-agama besar yang lain. Justru misi profetik Rasulullah dengan Islam-nya sebagai rahmatan lil alamin menjadi ternoda. Bahkan melalui pola keberagamaan semacam itu, Islam akan mengalami stigmatisasi yang cukup parah. Bencana besar telah dan akan menimpa umat Islam. Dengan one-side truth claim, mereka terjebak ke dalam sikap ekstrem yang tidak ketulungan, sehingga mereka tidak segan-segan untuk memerangi atau membantai sesama Muslim, serta umat manusia yang lain yang berada di luar kelompok mereka.
Al-Qardhawi dalam Membedah Islam Ekstrem (2001) menyebutkan, salah satu ciri khas dari kelompok ekstrem adalah fanatisme yang berlebihan sehingga hanya mengakui pendapat diri sendiri semata, serta tidak mengakui dan menolak hak pendapat lain. Kelompok ini hanya memiliki satu pilihan bahwa yang memiliki hak untuk berbicara dan menetapkan sesuatu hanya mereka, sedangkan orang atau kelompok lain wajib mendengarkan dan mengikuti. Mereka mengklaim, pendapat mereka selalu benar, sedangkan pendapat yang lain salah.
Pola semacam itu –menurut al-Qardhawi –merupakan teror dan intimidasi yang lebih dahsyat dan lebih menakutkan ketimbang teror yang dapat dirasakan secara inderawi. Sebab hal itu akan memberangus kebebasan, serta bersifat koersif yang memaksa orang lain untuk mengikuti kehendak mereka. Padahal telah menjadi kesepakatan dalam Islam bahwa setiap orang, siapa saja, boleh diambil atau ditinggalkan pendapatnya selama didasarkan pada argumen yang kuat dan dialog kemanusiaan yang mencerahkan.
Di sini adalah tugas kita bersama untuk menyebarkan misi profetik agama, dan pada saat yang sama menghentikan segala bentuk ekstremisme yang mengedepankan klaim kebenaran sepihak melalui cara-cara arif dan dewasa serta jauh dari segala bentuk kekerasan. Dalam konteks itu, suatu dialog yang dialogis yang melibatkan relasi antar subyek (bukan antara subyek dan obyek), serta jauh dari kepentingan yang sempit dan sesaat perlu dikembangkan. Umat Islam Indonesia secara khusus, dan bangsa Indonesia secara umum perlu membuktikan bahwa mereka dapat mengembangkan kehidupan damai yang jauh dari segala bentuk dan aksi yang bersifat represif, teror, licik, dan tidak terpuji©.
***

No comments: